Aku tak mengerti mengapa perbedaan selalu menjadi masalah. Bahkan bagi mereka yang katanya moderen. Mereka yang mengaku intelek dan selalu mengumbar akan toleransi segala perbedaan. Baik masalah politik, agama, ras, pendapat, dan segalanya. Segalanya. Mngapa selalu mejadi masalah? Berarti mereka menjadi munafik terhadap dirinya sendiri. Kafir bagi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Baiklah, bagian manakah dari perbedaan yang buruk? Sedari duduk di bangku sekolah kita dijejali dengan nilai nilai moral Pancasila, dari yang namanya masih PMP lalu diganti menjadi PPKN, Kewiraan, Pendidikan Pancasila, penataran P4, apalagi silakan sebutkan. Intinya disitu adalah kita sebagai bangsa Indonesia ditekankan untuk menghormati perbedaan dan melakukan toleransi terhadap segala bentuknya. Apapun itu.
Bhineka Tunggal Ika. Berbeda beda namun satu. Konon itulah slogan dan dasar dari rasa ke-Indonesiaan kita. Niscaya slogan ini kadang hanya menjadi pajangan wajib di antara foto presiden dan wakil presiden di tembok sejagat nusantara ini. Aplikasinya belum tentu sesuai dengan segala arti dan perlambang dari setiap unsur gambar dan tulisan di burung garuda itu.
Segala perbedaan itu saya percaya baik, semua tergantung bagaimana manusianya bertindak. Seperti yang baru saja terjadi, ucapan Paus Benedictus XVI yang menyinggung umat Islam. Saya bukan bermaksud memihak, tetapi ini memang isu rentan konflik. Agama, dasar keyakinan manusia. Bila semua pihak dapat menanggapi dengan baik, pasti tak akan terjadi suatu apa bukan. Jangan mudah terpicu amarh, itu saja inti dari bertoleransi. Lalu perbedaan agama ini seringkali menjadi masalah kala memadu kasih. Dua insan berbeda ini menganut asas Bhineka Tunggal Ika yang diyakini dan dijejali sejak kanak-kanak, dan tiba-tiba mendapatkan penolakan kanan kiri, baik dari keluarga, pemerintah, KUA, budaya dan peraturan hukum. Salah satu harus mengorbankan ‘hal pembeda’ tersebut hingga ada ‘persamaan.’ Tak lagi bhineka. Atau pergilah ke ujung dunia, maka ‘perbedaan’ tetap ada.
Bhineka. Lucu. Itu yang saya lihat. Agama masih bagian kecil dari SARA, hal yang tabu untuk tidak ditolerir dalam kehidupan bermasyarakat. Itu yang saya dapat dari pelajaran sekolah. Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan. Suku dan Ras ini juga seringkali menjadi perbedaan yang amat dipermasalahkan. Masih dalam hal memadu kasih, tak ada penerimaan jika tidak ada persamaan. Penyatuan perbedaan? Asimilasi budaya? Bukankan bangsa kita telah mengalaminya beratus-ratus kali? Banyak penganut chauvinisme ini tak sadar, kalau banyak unsur dari budayanya merupakan hasil asimilasi dari budaya lain seperti budaya barat, islam, eropa, dan lainnya.
Jika saya sebutkan satu persatu, kita akan mengulang pelajaran sejarah dari SD sampai SMA. Dan dari pengamatan saya, semua perbedaan SARA yang ditolak lingkungan perihal memadu kasih. Bila berkaitan dengan bule, londo, orang asing saja, semua penolakan luluh. Sepertinya menjadi sah, oke, lumrah, bila dikaitkan dengan mereka. Memangnya mereka siapa? Apakah perbedaan yang mereka miliki berbeda dan lebih baik dari kebhinekaan Indonesia? Siapa yang menilai? Saya tidak akan membahas masalah devisa negara, cukup. Heran bukan? Ternyata lingkungan tersebut masih ingin mengalami asimilasi budaya, tapi bukan dari Indonesia. Lucu, sungguh lucu.
Pengalaman teman-teman pun kadang membuat saya tak habis pikir. Bagaimana dengan modernitas pikiran yang katanya diyakini lingkungan mereka. Sejauh mana modernitas manusia Indonesia mentolerir ke-bhineka-an yang nyatanya ada di sekitar kita? Hmm, dan saya akan menambahkan masalah yang belakangan semakin sering muncul ke permukaan. Homoseksualitas. Ya, mereka berbeda, mereka mungkin deviasi sosial. Tapi nyatanya mereka ada. Sekali lagi, pertanyaannya adalah sejauh mana modernitas pikiran kita mentolerir ke-bhineka-an di sekitar kita? Jika kaum homoseksual ternyata adalah teman baik Anda sendiri, atau bahkan Anda sendiri, bagaimana menyikapinya? Apakah Anda akan menjadi munafik dalam artian mengaku berpikiran modern, intelek, maju hingga mampu mentolerir perbedaan namun menolak mereka atau diri Anda. Atau Anda menjadi manusia yang berpendirian teguh pada keyakinan Anda, yang berarti menerima mereka atau Anda sebagai warna bhineka dalam kehidupan bermasyarakat? Saya tak mau berpanjang-panjang membicarakan homoseksual. Kalau Anda bingung dengan pandangan saya, jika Anda membaca seksama, Anda tahu bagaimana saya memposisikan diri dalam masalah ini.
Sekali lagi pertanyaannya adalah: sejauh mana modernitas pikiran kita mentolerir ke-bhineka-an yang nyatanya ada di sekitar kita?
Sejauh mana Anda berani memperjuangkan keyakinan Anda?
Friday, September 22, 2006
Monday, September 18, 2006
a piece of bakpao
pipinya merona
tanda hati berbunga
pun harinya melelahkan
ia tahu ada seorang menyayanginya
hatinya tahu siapa yang menjaganya
pipinya yang seputih bakpao bersemu
hatinya yang sehangat bakpao panas membuncah
bagai isi daging yang sarinya melesak
meresapi pori roti putih
pun mengembang dan berkembang
bagai bakpao hangat, menggoda
tanda hati berbunga
pun harinya melelahkan
ia tahu ada seorang menyayanginya
hatinya tahu siapa yang menjaganya
pipinya yang seputih bakpao bersemu
hatinya yang sehangat bakpao panas membuncah
bagai isi daging yang sarinya melesak
meresapi pori roti putih
pun mengembang dan berkembang
bagai bakpao hangat, menggoda
galau pada bulan
Kala bulan merindu
Hati ini pun merindu
Hadirnya malam menambah sendu
Senyapnya malam menusuk kalbu
Gundah berkelana
Sigap dan tangkas menyelinap setiap sudut otot raga
Berderai mengikuti derasnya darah mengalir
Masuk, mengalir, lalu menguap
Semuanya merasuk.
Semuanya membusuk.
Ingin rasanya memarahi bintang karena bersinar
Menonjok bulan karena keindahan purnama
Ia meringkuk disana, risau akan kecantikannya
Sinarnya menambah aura amarah
Semuanya terlalu indah, menyilaukan mata,
Membutakan hati, tersilap galau
Is it to good to be true
Atau aku yang terlalu marah?
andini, desember 2005
Hati ini pun merindu
Hadirnya malam menambah sendu
Senyapnya malam menusuk kalbu
Gundah berkelana
Sigap dan tangkas menyelinap setiap sudut otot raga
Berderai mengikuti derasnya darah mengalir
Masuk, mengalir, lalu menguap
Semuanya merasuk.
Semuanya membusuk.
Ingin rasanya memarahi bintang karena bersinar
Menonjok bulan karena keindahan purnama
Ia meringkuk disana, risau akan kecantikannya
Sinarnya menambah aura amarah
Semuanya terlalu indah, menyilaukan mata,
Membutakan hati, tersilap galau
Is it to good to be true
Atau aku yang terlalu marah?
andini, desember 2005
feed love
Not long after midnight, in that free zone
The state that brings dream symbols
That surprise the dreamer
Cause he thinks he’s awake
He slips into a sort of enforced darkness
The dream carries no visual impressions,
only sound and feeling
Love is light that surely glows
In the hearts of those who know
It’s a steady flame that grows
Feed the fire with all the passion you can show
Tonight love will assume its place
This memory time cannot erase
Your faith will lead love
Where it has to go
andini, agustus 2006
The state that brings dream symbols
That surprise the dreamer
Cause he thinks he’s awake
He slips into a sort of enforced darkness
The dream carries no visual impressions,
only sound and feeling
Love is light that surely glows
In the hearts of those who know
It’s a steady flame that grows
Feed the fire with all the passion you can show
Tonight love will assume its place
This memory time cannot erase
Your faith will lead love
Where it has to go
andini, agustus 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)