Showing posts with label life. Show all posts
Showing posts with label life. Show all posts

Monday, June 27, 2011

menikah? apa yang berubah sih

menikah. banyak hal yang saya sadari berubah, tepat setelah menikah.

pertama, status. Status sebagai istri, sebagai suami. Status sebagai tuan, sebagai nyonya. Status dengan hadiah nama belakang yang sama bagi pria dan wanita. Status sebagai pasangan muda. Status sebagai keluarga baru yang baru saja pasang gigi satu untuk berjalan ke depan.

kedua, pola hidup. Pola hidup sebagai istri, pola hidup sebagai suami. Pola suami yang menjadi the breadwinner dalam keluarga, mengayomi dan lain lain. Pola istri yang melayani suami (hmm, sebenarnya saya kurang suka kata 'melayani' ini), pola istri yang jadi magnet kulkasnya suami. Dan sebenarnya berlaku sebaliknya.

Saya pun mengalami hal yang kurang lebih sama di awal pernikahan. Setelah melalui the honeymoon period yang gak selalu harus dengan pergi liburan, saya seperti mengalami terapi kejut. Meski waktu pacaran dulu, kita juga sudah terbiasa berangkat dan pulang bersama, tapi saat menikah, rasanya sungguh lain. Rasanya seperti membawa satu pak ransel yang keren bersama saya. Untuk keluar rumah misalnya, kalau dulu, saat saya sudah siap pergi, saya tinggal melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah dan masuk mobil. Tapi setelah menikah, saat saya sudah siap pergi, saya masih harus menunggunya siap untuk pergi (juga). Wah, padahal saya sudah siap sedari tadi. Demikian juga kalau mau kemana mana. Aih.

Ketiga, nanti dilanjutin lagi ya. Saya dipanggil.

Friday, June 17, 2011

dari mana kukenal Indonesia?

Baru saja menyaksikan Andrew Zimmern's Bizarre World on TLC. Ia datang ke Sulawesi, untuk melihat Tana Toraja. Zimmern celebrates the life and death of Torajan in that show. Of course, he eats stuffs. Satu komentarnya yang lucu, saat disuguhi daging kerbau dan jeroannya, "The Torajans don't cook the buffalo long enough to make it tender, and judging by the taste, they don't rinse it long enough too." :)))

Lalu dia berkelana kesana kemari, diceritain ini berbagai kisah oleh pemandunya. Lalu membuatku terpikir. Belum lama, saya juga menyaksikan acara di BBC Knowledge, The Last Woman Standing, yang mengambil tempat di Kalimantan. Jadi ini kompetisi siapa wanita terkuat, dan mereka tinggal bersama penduduk lokal dan diberikan tantangan-tantangan yang sangat lokal. Mulai dari balap menunggang sapi, mengayuh rakit bambu di tengah laut, dan lainnya. Bahkan saya baru tahu di daerah itu (yang namanya sudah lupa lagi) mereka menggunakan rakit bambu untuk melaut. Berbahaya ya.

Lalu kemarin, masih di BBC Knowledge, saya menonton Expedition Borneo. Di sini, satu tim peneliti dari UK mencoba mencari bukti-bukti penguat untuk memastikan apakah Borneo ini dapat menjadi area konservasi. Terutama dengan makin hilangnya area hijau di sana, yang terganti dengan kebun sawit. Bagaimana ekosistem dan sebagainya. Meski pun mereka disiapkan tenda yang sederhana, yang hanya terbuat dari kayu dan berbentuk dipan-dipan, tapi mereka ada di tengah hutan. Bahkan mereka pun bilang, bahwa daerah ini jarang dilewati oleh penduduk setempat. Peralatan mereka saja, yang berton-ton beratnya, mulai dari peralatan mendaki, peralatan merekam, dan peralatan penelitian, harus dibawa dengan helikopter. Dan barang-barang itu kemudian diturunkan, helikopternya sih tidak bisa turun sama sekali.

It got me thinking, really. Saya melihat, menyaksikan Indonesia dari kacamata orang asing. Saya mendengar, mengetahui tentang apa yang terjadi di Indonesia dari mereka. Saya mengetahui, mengenal kebudayaan Indonesia dari mereka. Saya melihat dan berkunjung ke wilayah-wilayah di Indonesia, yang bahkan belum pernah sama sekali saya kunjungi dari mereka. 

Bayangkan! Dari mereka! Orang asing yang datang ke Indonesia, untuk peduli pada Indonesia, untuk mengenal Indonesia, untuk menikmati apa yang ada di Indonesia! Sedangkan saya sendiri belum pernah menjelajahi bahkan 50% dari keseluruhan wilayah Indonesia ini. Ini tamparan yang cukup membangunkan saya dan memberi satu konfirmasi. Betapa luasnya dan besarnya dan beragamnya Indonesia tercinta ini.

Ini memicuku untuk lebih menjelajah dan mengenal Indonesia. Memang, dari mereka, dari orang asing kita mendapatkan perspektif lain. Tapi kita perlu mendapat perspektif dari kita sendiri juga. Kita perlu memperkaya diri kita juga selain orang lain membantu kita menjadi lebih kaya.

Yuk, kita menjelajah Indonesia bersama.

a balloonist epilog

jadi gini, dengan semua perkembangan yang terjadi dalam dunia dan dalam diri sendiri, banyak hal yang mungkin berkembang, menyusut, mengempis, menggembung atau hanya tertahan saja. Semua hal yang mengikuti bentuk-bentuk tadi sebenarnya mungkin belum tahu mau diapain. Ada perkataan dalam Alkitab, yang bilang bahwa "segala sesuatu akan indah pada waktunya."

Mungkin sesuatu sengaja dikempiskan, agar bisa digembungkan kembali suatu saat, ketika waktunya dirasa sudah tepat. Oleh kita, olehNya, oleh orang-orang. Mungkin memang saat itu dikembangkan dulu, lalu ditahan hanya sampai disana, agar nanti bisa berbunga di suatu hari yang indah itu. 

Entahlah, jika dari semuanya ini, memang belum saatnya, baiklah. Akan terus mencoba berbagai hal yang mungkin, seperti balon, belum tertiup sempurna atau maksimal tapi sudah diikat karena sang peniup sudah kehabisan nafas. Sekarang, si peniup balon ini harus banyak-banyak latihan nafas dan berguru ke sana sini soal pernafasannya, agar pada suatu waktu yang indah nanti, ia dapat meniup balonnya dengan sempurna dan terikat kuat.

Yang pasti, peniup balon ini sebenarnya bisa meniup balonnya sekarang. Benar? Tapi belum sempurna. Ia perlu menyempurnakan tiupannya. Ia perlu memperbaiki tekniknya. Ia perlu belajar pada kesalahannya. Ia perlu mengembangkan apa yang sudah dikerjakan dengan benar.

Jika memang ini saatnya, atau belum saatnya. Jangan menyerah.

Monday, November 22, 2010

perubahan itu tidak mudah

Jadi, ibu ini selama puluhan tahun bekerja di kantor. Kini ia tak lagi bekerja di kantor, dan merasa semangat ingin melakukan sesuatu. Kali ini, pilihannya jatuh ke berdagang, jualan. Produk yang dipilih, makanan.
Pada hari itu, tidak, bahkan satu hari sebelum itu, sudah tampak bahwa dirinya belum siap untuk melakukan jual menjual ini. Semua terlihat dari polah dan bicaranya. Sungguh jelas, bahwa hati dan mentalnya belum (atau tidak) siap untuk perubahan semacam ini.

Ini adalah perubahan besar. Dari yang duduk enak di kantor, dimana yang kerja berat adalah si otak, menjadi kerja keras dengan tenaga dan daya upaya pribadi, di tempat yang selalu berubah suasana, lokasi dan tetamunya.

Dan benar saja, bahwa memang itulah yang dirasakan. Bukan berarti menyerah, hanya tidak ingin turun tangan dengan tenaga seperti itu. Cukup otak saja yang bekerja, mungkin demikian.

Yah, memang itu sudah sangat terbaca. Mendengar kisah orang lain dan merasakan sendiri itu hal adalah dua kutub magnet yang berlawanan. Bagaimana pun, sifat orang berbeda-beda, tipe bekerja juga berbeda-beda. This is just not her type. Marry another job. Hopefully she will find the perfect type of job to marry after the years of work at the office.

Berubah itu bukan hal yg mudah. Untuk berubah adalah perjuangan -Herwindra Aiko Senosoenoto

Friday, June 4, 2010

menikah?


Menikah. Banyak perempuan sudah merencanakan pernikahannya sejak belum bertemu sang pangeran. Gaun seperti apa yang akan dipakai, bagaimana rambut dan riasan, dekor seperti apa, mau kue berapa tingkat, sepatu kaca atau sepatu kain, semua sudah dirancang. Memang perempuan seringkali agak gila, tapi memang itu yang terjadi. Dan ketika sudah besar, bertambah lagi daftar di rancangan itu, mengikuti selera. Tapi juga berkurang sedikit, atau disesuaikan sedikit, mengikuti kemampuan kantong. Ketika sudah bertemu sang calon, makinlah terbayang susunan acara, pengisi acara dan lain-lainnya. 

Menikah.Ketika sudah besar, perempuan kecil mulai dihadapkan pada kenyataan: susah mencari pasangan yang katanya the one. Ingin yang begini, yang begitu, dia kurang begini, kurang begitu, dia ternyata begini, ternyata begitu. Ada saja masalah yang mungkin mengganggu jalan menuju pelaminan ini.
Tuntutan keluarga untuk segera menikah, seringkali jadi beban tersendiri. Kalau belum punya pacar, pasti muncul pertanyaan, “Kok belum punya pacar?” Yah, memang belum, terus kenapa. “Memangnya gak ada cowok yang mau?” Mau kok, buktinya punya teman cowok banyak. Dan seterusnya. Kalau sudah punya pacar, beban pertanyaannya naik satu level. “Kapan mau diresmikan?” Yah, baru juga pacaran. “Kapan mau nikah?” Wah, belum tahu tuh. 

Saya pun mengalami semua hal itu. Seluruh jawaban sepertinya sudah pernah saya keluarkan, sehingga akhirnya hanya bisa mengulas senyum sebagai jawaban. “Pacarnya siapa?” Ada. “Kapan menikah?” *senyum*